Rintisan

Desa Wisata Bantiran

Kec. Pupuan, Kabupaten Tabanan, Bali View Location

Desa Bantiran merupakan salah satu dari 14 desa yang ada di wilayah Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan. Desa Bantiran memiliki batas – batas wilayah sebagai berikut:
Sebelah Utara: Desa Subuk
Sebelah Timur: Desa Tinggar Sari
Sebelah Selatan: Desa Pupuan
Sebelah Barat: Desa Munduk Temu.

Desa Bantiran terdiri dari 9 banjar yaitu: Banjar Ambang, Banjar Asah, Banjar Bantiran, Banjar Tejabukit, Banjar Bantiran Kelod, Banjar Temusari, Banjar Palisan, Banjar Sasaan, Banjar Seleksek.

Desa ini dapat dikatakan sebagai desa yang sangat tua, hal tersebut dapat dibuktikan dengan ditemukannya tinggalan benda-benda kuno di wilayah tersebut.

Salah satu yang ditemukan adalah prasasti. Prasasti adalah salah satu dari peninggalan arkeologi dari masa sejarah yang merupakan tulisan yang diturunkan oleh/atas nama seorang raja atau penguasa yang diperuntukan bagi sekelompok masyarakat yang didasarkan atas terjadinya kasus-kasus tertentu dan dikeluarkan berdasarkan pertimbangan- pertimbangan tertentu pula. Prasasti biasanya ditatah diatas batu, tembaga dan juga pada masa kemudian ditulis di atas daun rontal. Dalam sebuah prasasti biasanya tertulis nama raja, tahun pemerintahan, susunan dan nama pejabat kerajaan, masalah pertanian, perdagangan, keagamaan atau lainnya (Soekarto dalam Suantika, 2010:29).

Prasasti yang terdapat di desa Bantiran disebut Prasasti Bantiran dikarenakan beberapa lembar prasasti tembaga tersebut sejak dahulu hingga saat ini tersimpan di Pura Puseh Bantiran, serta isinya berkaitan dengan Desa Bantiran pada masa lampau. Dari hasil penelitian arkeologi dapat diketahui prasasti tembaga ini terdiri dari dua kelompok prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja yang pernah memerintah kerajaan Bali pada masa Bali Kuna.

Kelompok I adalah prasasti yang berangka tahun çaka 923 (1001 Masehi) yang dikeluarkan atas nama Ratu Sri Gunapriyadharmapatni yang bersuamikan Raja Sri Dharmodayana Warmadewa.
Kelompok II, adalah prasasti yang berangka tahun çaka 1072 (1150 Masehi) yang dikeluarkan atas nama raja Sri Maharaja
Dalam Prasasti yang dikeluarkan atas nama Ratu Sri Gunapriyadharmapatni beserta suami beliau Raja Sri Dharmodayana Warmadewa bahwa luas Desa Bantiran pada masa itu dapat diketahui dari batas-batas desa yang tersurat di dalam prasasti lembar ke VI sisi A, dimana tertulis:

——-, kunang hingan thanina daruhan her kepaha her byu matatu, hingania lodan her ara manek di tangkup manogerang patalyan batu, hingan danginan punduk
ibu, kadya kayu puring punduk sumpilahang harjuling di lklk sahatwa lwar thanina.
Yang artinya:

——–, adapun batas-batas desa Bantiran itu adalah disebelah barat yeh kapah dan byu metatu, sebelah utara ara terus naik ke tangkup, naik sampai di patalyan batu, sebelah timur punduk
ibu, sebelah selatan sampai di kayu puring, punduk sumpilah hanjuling terus di leklek, sekian batas desanya (Suantika, 2010:32)
Kepastian bahwa desa Bantiran sudah ada sejak lama juga dapat dilihat dari isi prasasti Gobleg, Pura Batur A yang dikeluarkan atas nama raja Sri Ugrasena (915-936 Masehi). Dari isi prasasti gobleg, Pura Batur A ini dapat diketahui bahwa pada saat peresmian sebuah bangunan suci di Desa Tamblingan, banyak pejabat-pejabat desa sekitarnya yang hadir menyaksikan upacara tersebut, dan salah satunya adalah “Nayakan Bantiran”. Mengingat lokasi Desa Bantiran dan Desa Tamblingan pada masa lampau adalah desa yang berdekatan, maka kata Nayakan Bantiran dapat diduga adalah Pejabat atau tetua Desa Bantiran.

Prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja yang pernah memerintah pada masa Bali Kuna, pada dasarnya diturunkan atau diterbitkan karena adanya suatu masalah yang berkaitan degan desa dimaksud, yang artinya prasasti-prasasti tersebut dapat memuat berbagai aspek kehidupan masyarakat (Goris, 1948).

Dalam prasasti Bantiran juga disebutkan bahwa “Banua i Bantiran” adalah “Ibu Desa”, sehingga dapat diartikan bahwa pusat pemerintahan desa pada masa itu ada di Desa Bantiran, dengan kepala desanya disebut dengan istilah “Nayakan Bantiran” sebagaimana disebutkan di dalam Prasasti Gobleg, Batur A, yang berarti disekitaran Bantiran masih ada desa-desa bawahan yang lebih kecil.

Dalam tatanan masyarakat Bali Kuna kita mengenal   adanya   istilah   Banua/wanua yang   berarti   desa   dan   Anak. Banua/wanua yang berarti anak desa/ desa bawahan. Hal ini memberikan makna bahwa Desa Bantiran pada masa lampau dengan desa-desa bawahannya, telah memiliki suatu sistem dan tatanan kehidupan masyarakat yang sudah tertata dalam suatu sistem birokrasi yang sangat baik.

Hal lain yang tersurat dalam prasasti adalah terkait adanya sebuah bangunan suci yang disebut dengan “Hyang Sampalika” yang wajib dan harus dipelihara dan dijaga oleh masyarakat Bantiran, dan selalu melakukan upacara-upacara keagamaan sesuai dengan yang telah ditentukan. Dalam prasasti juga dijelaskan bahwa sebagian besar masyarakat Banua Bantiran adalah petani yang mengerjakan sawah milik raja.

Alasan diturunkannya prasasti untuk Desa Bantiran ialah karena sebagian besar masyarakat Bantiran pada saat itu keluar dari desa dan tidak lagi mengerjakan sawahnya, karena adanya tindakan sewenang-wenang dari petugas pemungut pajak kerajaan, yang melipatgandakan pungutan pajak, sehingga masyarakat Bantiran merasa sangat dirugikan, sehingga mereka mogok kerja. Dari hal tersebut, dapat diketahui bahwa sejak masa lampau sudah ada tindakan korupsi dari petugas pajak kerajaan.

Disamping lempengan-lempengan prasasti tembaga tersebut, terdapat pula beberapa benda perunggu yang dapat diidentifikasi sebagao berikut:

4 buah lempengan logam yang diduga bagian pegangan daripada gamelan selonding, dengan 2 buah lubang pada bagian tertentu, dengan hiasan berupa kepala
1 buah pegangan cermin perunggu dengan hiasan pada bagian dasar cermin, benda serupa ditemukan di situs Blanjong
Dari semua bukti arkeologis tersebut dapat diketahui bahwa pada sekitar abad 10-13 Masehi di Desa Bantiran telah berlangsung suatu kehidupan masyarakat yang cukup maju dan tertata dengan sangat baik (Suantika,2010: 31-34).

Desa Bantiran memang dari dulu menjadi satu dengan desa Pupuan, tetapi karena perkembangan penduduk serta keadaan wilayah yang layak untuk mekar maka desa Bantiran sejak tahun 1988 menjadi desa Persiapan dan pada tahun 1990 menjadi desa Dipinitip dengan mewilayahi empat Banjar, yaitu Banjar Bantiran, Banjar Ambang, Banjar Asah dan Banjar Tejabukit. Demikian pula untuk mengefektifkan pelayanan terhadap masyarakat maka pada tahun 2010 akhirnya Banjar tersebut mekar kembali. Banjar Bantiran terbagi menjadi dua yaitu, Banjar Dinas Bantiran dan Bantiran Dinas Kelod sedangkan Banjar Ambang terbagi menjadi dua yaitu, Banjar Dinas Ambang dan Banjar Dinas Temusari. Banjar Tejabukit menjadi empat yaitu, Banjar Dinas Palisan, Banjar Dinas Sasaan, Banjar Dinas Tejabukit dan Banjar Dinas Seleksek.

Dengan adanya pemekaran Banjar Dinas maka desa Bantiran mempunyai sembilan Banjar Dinas sampai sekarang yaitu, Banjar Dinas Ambang, Banjar Dinas Asah, Banjar Dinas Bantiran, Banjar Dinas Tejabukit, Banjar Dinas Bantiran Kelod, Banjar Dinas Temusari, Banjar Dinas Palisan, Banjar Dinas Sasaan dan Banjar Dinas Selekses.
 

Share Social Media

Facilities

Belum ada fasilitas
Belum ada fasilitas

Tourist Attraction

photo Tari Rejang Ayunan
Tari Rejang Ayunan
Kab. Tabanan

Location

Other Recommendations

Desa Wisata Suwat
Rintisan
Desa Wisata Suwat
Kab. Gianyar
Desa Wisata Bali Ditha
Rintisan
Desa Wisata Bali Ditha
Kab. Gianyar
Rintisan
Kab. Klungkung
Rintisan
Kota Denpasar
Rintisan
Kab. Jembrana
Desa Wisata Pejeng Kangin
Berkembang
Hubungi Kami